Lily dan Matematika
Aku melangkah gontai
di perjalanan pulang, pandanganku menerawang ke hal yang jauh, masa depanku.
Impianku selama bertahun-tahun untuk bersekolah di Universitas Harvard
dipertaruhkan, hanya karena satu masalah kecil —baiklah, aku mengaku itu
masalah besar— nilai matematikaku. Harvard tidak mau menerima nilai kurang dari
8,00 untuk setiap mata pelajaran, lalu masih ada berbagai macam tes untuk
menjamin bahwa mereka menerima murid yang tepat. Tidak mengherankan, itulah
alasan mengapa Harvard menjadi universitas terbaik tertua yang masih bertahan
di negara kompetitif ini, United State of America. Dan semua harapanku untuk
bersekolah disana sedang digantung sekarang, menunggu saat yang tepat bagi
harapan itu jatuh menghantam Bumi.
Aku tidak
benar-benar bodoh, menurutku. Hampir semua mata pelajaranku mendapat nilai
diatas 8,00 bahkan beberapa nilaiku lebih dari 9,00 tapi seperti yang kubilang,
itu masih hampir. Setelah kuhitung
ulang, aku sadar kalau nilaiku matematika hanya mendapat 78 dan itu berarti aku
tidak akan bisa ikut tes untuk mendaftar di Harvard. Lebih buruk lagi, aku sekarang
masuk daftar murid terancam tidak lulus semester, sekolah menetapkan nilai minimal
79 untuk lulus semester, dan nilaiku hanya 78!
“Kau tetap
bisa memperbaiki nilaimu, itu pasti miss Evans” kata Mrs. Elizabeth siang itu
di kantornya, ia berkata dengan hati-hati, “But
i’m not sure you can increase your final score more than 1 point, you have no
remidial test to do.” lanjutnya.
“Please Ma’am. Anda bisa memberi saya
tugas atau semacamnya, saya hanya butuh 2 point lagi” kataku muram. 2 point
untuk test di Harvard.
Mrs.
Elizabeth merapikan letak kacamatanya, menatapku tajam, lalu membuka beberapa
folder di laptopnya, aku terus mengamatinya sampai ia berhenti pada file
berjudul Lily Evans dan membukanya, “Okay,
i’ll give you a chance. Kau tentu bisa membuat sebuah esai, miss Evans. Kau
pilih temanya dan aku ingin esai itu ada di mejaku hari Rabu. Dan mohon
diingat, jika aku menambah 1 point di nilaimu, itu berarti aku harus melakukan
hal yang sama pada teman-temanmu.”
Sesaat aku
membayangkan temanku mendapat angka 102 di raportnya, dan heran aku masih bisa
melucu disaat seperti ini. “Of cource
Mrs. Elizabeth, thank you.” kataku
dan buru-buru pergi.
Tapi itu tadi, tetap saja sekarang aku
berjalan gontai kerumah.
“Kau sudah pulang, Lily. Aku baru berpikir
akan menjemputmu.”
Aku
mendongak, dan melihat mata hijau zaitun Carlisle menatapku. Ia sedang duduk di
taman rumah kami. Hebat, aku berjalan
tanpa sadar ke rumah dan aku selamat!, kataku dalam hati. Sekilas aku
melirik jam tangan dan tahu ini sudah pukul 8 tepat, aku mendesah keras dan
duduk di samping Carlisle.
“Kau tak
pernah pulang selarut ini, ada masalah disekolah?” kata carlisle tenang.
benar-benar tipe kakak laki-laki yang bagus untukku, “Aku tidak memaksamu untuk
cerita, itu hakmu” lanjutnya.
Aku
menatap carlisle lagi, lalu berkata, “Bukan masalah, bencana lebih tepatnya.”
Carlisle masih menatapku dengan tenang jadi aku memutuskan untuk melanjutkan,
suaraku lebih lirih sekarang, “it’s about
mathematics. Nilaiku tak cukup untuk lulus semester ini.” aku berhenti dan
menatap Carlisle tak percaya, “Kau tak mengerti, ya?!” nada suaraku meninggi,
“Nilai matematikaku tak cukup untuk lulus di semester ini, dan itu berarti aku
masuk dalam daftar siswa terancam tak lulus semester, dan itu artinya aku tak
punya kesempatan untuk kuliah di Harvard. Bagaimana mungkin ini terjadi!, aku
sudah belajar keras untuk matematika, susah makan susah tidur hanya karena
matematika, dan yang kudapat hanya nilai 78!! How poor i am.” Kataku marah-marah.
Carlisle
masih menatapku untuk beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Ini bukan hanya
masalah seberapa keras usahamu untuk matematika, tapi juga seberapa besar
minatmu pada matematika, Lily. Hanya mengingatkan, kau selalu berkata matematika
adalah pelajaran paling susah dan paling membosankan yang pernah kau pelajari
dan kau terpaksa belajar metematika hanya karena menurut orang lain matematika
itu penting, Kurasa itu adalah alasan tepat mengapa selama ini kau tak pernah
mendapat nilai 8,00 di bidang matematika!” Carlisle berhenti untuk melihat
reaksiku, lalu melanjutkan lagi “Lily, yang harus kau lakukan adalah mengubah perspektifmu
pada matematika! Matematika itu indah, seperti seni.”
Indah
seperti seni, aku mendengus mendengar itu. “Apa hubungannya cara pandang
terhadap nilai matematikaku, Carlisle?”
“Tentu
ada, Lils. Cara pandangmu terhadap matematika akan mempengaruhi minatmu pada
matematika, dan minatmu pada matematika akan mempengaruhi seberapa besar
keinginanmu untuk belajar matematika dan itu tentu saja akan mempengaruhi nilai
matematikamu.” Jawabnya tenang. Kadang aku berpikir ia lebih cocok jadi seorang
ayah daripada kakak, tapi kata-katanya benar.
“Perhatikan
dunia di sekelilingmu, Lily! Semua adalah matematika.” Lanjut carlisle,
sekarang mata zaitunnya menerawang jauh ke langit, ke bintang-bintang diatas
kami. “Letak bintang, perputaran planet, suhu di bumi—“
“Tunggu
dulu, kupikir itu fisika” kataku memotong ucapannya,
Carlisle masih
tersenyum tenang, lalu melanjutkan lagi, “Tentu itu fisika. Tapi kau harus tahu
Lily, matematika adalah dasar dari segala dasar. Menurutmu dari mana Newton
tahu kalau
+
=
kalu bukan dari matematika? Itu pecahan! Lalu dari mana Ibnu Sinan tahu
ukuran yang tepat untuk membedah perut orang lain? Atau darimana Fir’aun
membangun piramida dengan begitu hebatnya ? Semua dari matematika. Kalau mereka
tak tahu 1 + 1 = 2, mereka tak akan menemukan rahasia alam semesta!”



Carlisle
berhenti, dan aku menunggu, “Einstein dan Edison mengerti apa gunanya
matematika dan mereka mengembangkan ilmu itu jadi ilmu lain, itu sebabnya
mereka dijuluki Orang-orang cerdas. Sungguh bagus seorang ilmuan bernama Phytagoras
menemukan bahwa c2 = a2 + b2, jadi kita tak
perlu repot memanjat untuk mengukur tinggi gunung. Rumus trigonometri membuat kita tak perlu melompat ke
ujung ruangan untuk mengukur jarak antara titik ke bidang atau mengukur tinggi
Eifell, bahkan mengukur pun sudah termasuk matematika, tanpa rumus trigonometri juga kita tak akan menemukan besar gaya
vektor, tanpa matematika kita tak akan bisa menentukan kecepatan yang tepat
agar dua buah foton tak bertabrakan dan meledak! Semua adalah ilmu hitung,
matematika.”
“Hitler
menggunakan fungsi kuadrat untuk menghancurkan Amerika” kata Carlisle, dan aku
menatapnya tak percaya, sebuah fungsi
kuadrat untuk berperang? That’s impossible!. Carlisle terkekeh sekarang,
“Lily, bom meriam menggunakan fungsi kuadrat untuk menciptakan lintasan
parabola, jadi mereka tak perlu menghancurkan musuh dari dekat. Sampai sekarang
semua tank militer menggunakan prinsip fungsi kuadrat untuk menghancurkan musuh
dari jarak jauh, tak peduli berapa mil jaraknya!, jika kau pergi ke bioskop kau
akan perhatikan bahwa susunan kursi disana menggunakan deret matematika. Erathothenes
pertama kali mengukur bola bumi dengan menghitung selisih sudut matahari di
Alexandria dan jarak dari Syene ke
Alexandria, ia menggunakan rumus sinus, sadarkah
kau kalau itu matematika?
“Sejak
zaman purba pun manusia telah menggunakan matematika walau dalam taraf yang
sederhana, mereka menghitung peluang saat berburu dalam kelompok, menghitung
berapa lama daging buruan mereka habis jika diambil 5 potong setiap hari, atau
bahkan menghitung ramuan yang tepat untuk mengawetkan makanan. Di ekonomi
modern, semua tentang matematika, pecahan untuk menghitung diskon, inflasi, dan
pendapatan negara. Pertidaksamaan untuk menghitung harga barang, itu semua matematika!.
Atau di dunia seni, para arsitek menghitung kekuatan pondasi yang dibutuhkan
untuk menahan beban bangunan, menghitung ukuran bangunan. DesainTuhan pun
menggunakan matematika! Angka PHI, 1.618”
“Apa
hubungannya angka PHI dengan desain Tuhan?” kataku mencela.
Carlisle
tersenyum,“Kau tentu tahu kalau jumlah lebah betina selalu lebih besar dari
jumlah lebah jantan, jika kau membagi jumlah lebah betina dengan lebah jantan
di setiap sarang di dunia ini maka kau akan mendapat angka yang sama. 1,618;
PHI! Lalu jika kau menghitung rasio setiap diameter pada Nautilus kau akan mendapat nilai PHI; 1,618!”
Aku ternganga,
menyadari kebenaran, “Impossible” gumamku.
“It’s possible. Leonardo da Vinci sudah
membuktikannya, coba kau hitung jarak antara puncak kepalamu ke lantai lalu
bagi dengan jarak dari pusar ke lantai, kau akan mendapat anga PHI lagi! Jarak antara
bahumu ke ujung jari bagi dengan jarak dari sikut ke ujung jarimu. PHI lagi. Yang
lain? Paha ke lantai dibagi dengan lutut ke lantai. PHI lagi. Ruas jari, jemari
kaki, divisi tulang belakang. PHI lagi. Semua tubuhmu adalah PHI, 1,618. Jika
kau tak percaya kau bisa cari di wikipedia
atau google, terserah. Matematika dalam desain Tuhan.
“Fisika dan
Kimia, Kecepatan dan zat-zat kimia
yang dicampur, itu semua tak lebih dari hitung-hitungan rumus yang dikembangkan
dari matematika. Bahkan menghitung peluang dan logika yang dihasilkan pun
merupakan matematika. Matematika adalah ilmu hitung, Lily. Dasar dari segala
ilmu!” kata Carlisle bangga.
Aku
menatapnya tak percaya, baru tersadar. Carlisle benar, matematika adalah ilmu
hitung! Dasar dari segala ilmu. PHI, lalu peluang, deret angka, persentase,
interval, pecahan, logika, phytagoras, aljabar, persamaan dan pertidaksamaan,
dimensi tiga, trigonometri, dan banyak lagi yang lain berkembang menjadi
ilmu-ilmu lain yang mengupas rahasia alam semesta. Mengapa aku tak menyadari
itu sebelumnya. Carlisle benar, tidak baik mempelajari matematika dengan
terpaksa, sedikit perubahan perspektif dapat memberi dampak yang besar.
Tiba-tiba akku berpikir, apa yang akan terjadi jika umat manusia tak belajar
berhitung? Apakah semaju sekarang?.
Carlisle
tersenyum lembut, “Adikku, kurasa kau sudah punya pandangan lain terhadap
matematika. Jangan membenci matematika, kau hanya tak mengenalnya. Dan aku
yakin, setelah kau mengenalnya sekarang, kau akan jatuh cinta pada matematika”
ia berkata puas, tiba-tiba ia melanjutkan, “Kau tau, bahkan warna mata kita—“
“Aku tahu
Carlisle, genetika juga cabang dari matematika, menghitung peluang dan
semacamnya. Tapi sepertinya peluang ibu lebih banyak di aku, kau lihat mata
kita sama hijau tapi rambutmu pirang seperti ibu dan aku merah seperti ayah.
Kau benar-benar kakak yang baik Carlisle. Ayo kita masuk, sebelum Mom bisa
memarahiku.” Aku segera bangkit berdiri, benar-benar lega bisa bercerita pada
Carlisle tentang matematika, jadi itukah rahasianya mengapa ia selalu mendapat
nilai bagus di matematika? aku berani bertaruh pasti kunci lokernya deret fibbonacci. Carlisle, Dia hebat.
Carlisle
tertawa lebar, puas akhirnya bisa mengubah perspektifku tentang matematika. Aku
melirik jam tangan lagi, jam 9, bukankah waktu dan garis lintang juga hasil
dari penghitungan matematika? Oh, aku
baru menyadarinya sekarang. Kurasa aku harus berterimakasih lagi pada Mrs.
Elizabeth, dia sudah sangat baik memberiku kesempatan. Setidaknya karena
nilaiku kurang, aku bisa lebih semangat untuk mengambil kelas matematika di
Harvard. Itu pun kalau aku lulus semester
ini, pikirku sedih. Lalu tiba-tiba teringat tentang esai yang diminta Mrs.
Elizabeth, aku tersenyum puas, tahu judul apa yang akan kuberi pada esaiku
nanti, “Matematika sebagai ilmu dasar”, aku tersenyum.