Senin, 24 Oktober 2011

severus snape and lily evans


.Severus Snape and Lily Evans.
Pelahan-lahan seperti pencairan bertahap es, sinar kecil mentari pagi merayap melalui jendela berdebu, mengalir seperti sungai kuning diatas lantai dan beringsut menaiki selimut kusut. Severus Snape mengernyit ketika akhirnya sinar matahari mencapai wajahnya. Dia terjaga, telah berjam-jam. Dilihatnya jendela, dan mendapati langit telah memudar secara bertahap, dari tengah malam biru ke merah muda kabur. Sekarang, masih bagai mati di tempat tidurnya, ia mengamati bias cahaya di lantai batu yang dingin. Matanya terlukasinar kesedihan penuh sesal.
Mendorong selimut terlepas, ia duduk di tepi tempat tidurnya. Merasakan cahaya yang menghangatkan dadanya, tepat di atas hatinya. Dengan tangan kurus gemetar, ia mengulurkan tangan dan membiarkan cahaya itu ikut menerpanya. Merah berkilau, mengingatkan akan rambutnya.
Dia sudah berkabung meratapi teman-temannya selama bertahun-tahun dalam keheningan, keegoisan akan keberaniannya, dengan sepenuh hati. Tak ada seorang pun tahu, bahkan The Dark Lord pun tidak tahu siapa dia sebenarnya. Dumbledore sudah tahu, kebenaran yang sekarang mengalir dalam darah setengah pangerannya. Teman-temannya akan dikenang sebagai pahlawan, dan dia—hamba tenang akan menjadi orang berdosa. Berdosa karena telah mengenakan mantel kebaikan. Diam-diam Severus mengetahui rasa sakit antara hidup dan mati lebih dari siapapun.
Meski desain kejam nasib, dia sekarang selalu ingin menjadi apa pun, asal bukan Severus Snape yang sekarang. Dia kepala sekolah Hogwarts, namun keadaan jauh dari ideal. Pilihan yang telah ia buat dalam setiap menit hidupnya telah membawanya kesini dan pengabdiannya pada apa yang ia tahu benar telah mengutuknya. Anehnya, Snape masih bisa mendengar bisikan Dumbledore.
Ia berpakaian dengan cepat dan berjalan melewati koridor panjang menuju kantor Kepala sekolah. Beberapa siswa mondar-mandir disana. Sebagian besar dari mereka membungkuk sambil berlalu. Beberapa anak  Slytherin tahun ke enam merendahkan dada mereka untuk menyapa dan kemudian berhenti sebentar untuk mengomentari Hufflepuff, ia hanya menggerutu pada mereka.
Menggumamkan password, ia berjalan susah-payah menaiki tangga dan menghela napas berat saat jatuh terduduk di kursinya. Dumbledore mendengkur dalam tidurnya, severus memutar matanya dan mencubit hidung elangnya.
Dumbledore berdeham, “wha, aku suka kaus kaki..oh, maaf  severus apa sudah pagi?” lanjutnya saat melihat siapa yang ada di kursi Kepala Sekolah.
Snape mendengus, “setidaknya kau tidak mengatakan ‘selamat pagi’” dia memijat pelipisnya, “aku tak bisa tidur, tiada hari baik lagi kukira, bertahan severus” Snape menyemangati dirinya sendiri. Ia sudah melakukan seperti yang diperintahkan, tapi bahkan ia tak percaya itu datang dari mulutnya sendiri, kata-kata itu seperti tertahan di telinganya. Tak bisa masuk dalam otaknya.
“kau harus berhenti menyalahkan dirimu sendiri” kata dumbledore bersandar pada bingkai lukisan dan menyihir kupu-kupu di udara, “tak ada yang bisa kita lakukan” lanjutnya.
“maafkan aku, albus. Tapi Bagaimana aku bisa meyakini itu? Aku tak bisa.” Jawabnya sambil melangkah ke arah baskom air, dan mencelupkan kepalanya. Helai rambut obsidian jatuh di atas matanya saat ia mengangkatnya lagi. “setiap kali aku menutup mataku, aku selalu melihat matanya, wajahnya. Andai saja aku ada disana”
“sabarlah severus” kata Dumbledore. Nada suaranya tegas dan menghibur. “jangan khawatir sendiri. Kita semua tahu apa yang sudah terjadi, dan itu tak mudah bagi siapa pun, tapi aku percaya kau akan baik-baik saja pada akhirnya”
Sambil mendesah, severus berjalan ke arah jendela. Dia mengintip pedesaan kabur di kejauhan. Si mentari pagi cerah menyinari dahan-dahan cemara di halaman. Cabang-cabang giok briliant, seperti matanya.
“james dan aku akan menikah” lily menggeser paketnya dari satu pinggul ke pinggul yang lain, mereka sedang berdiri di luar sebuah toko di Diagon Alley. “aku ingin sekali kau datang, severus” ucapnya penuh harap.
Severus berusaha tidak gemetar menahan beban hidupnya, sekarang seperti ada beban baru diletakkan di pundaknya, “saya,.. aku tak tahu apakah aku punya waktu untuk..”
Mata lily tumbuh lebih besar saat ia amati, bintik-bintik emas dan tembaga bersinar terang dalam kolam zambrud itu,,
“kumohon, sev” pinta gadis itu akhirnya.
Snape mengerutkan alisnya. Tangan putihnya mencengkram erat kusen ubin. Sedikit Memori Lily sudah cukup untuk membekukan seluruh tubuhnya, selalu. Sepanjang hidupnya ia tak pernah menemukan emosi yang lebih kuat dari cintanya pada Lily. Kemarahan, ketakutan, kebencian, dan frustasi, tak ada yang mendekati besarnya. Tak peduli berapa kali ia harus mengingat James Potter talah menyelamatkan hidupnya, dia tak bisa berbohong, tidak ke matanya.


Para siswa berada di kelas mereka siang ini. Snape mencoba melupakan dengan sederhana, fakta memuakkan bahwa dunia terus berubah. Ia bergerak perlahan melalui koridor-koridor kosong itu, kurang tidur terus mengambil siang harinya sebagai korban.
Dengan jentikan pelan tongkatnya, sebuah pintu muncul. Seakan tergelincir kedalam , langkahnya menemukan arah. Di depannya, terbungkus kain besar adaln cermin Erised. Ini adalah tempat persembunyian si cermin, yang tahu hanya beberapa orang yang dipilih.
Kakinya terasa seperti batu saat ia menyeretnya malas di atas lantai lecet. Ia menarik kain itu dari cermin, mata hitamnya menelusuri setiap huruf yang terpahat di tepi cermin, ia telah membaca ratusan kali sebelumnya; ‘erised stra ehru oyt ube cafru oyt on wohsi’. ‘i show not your facebut your heart’s desire’. Ia masih memejamkan matanya, masih takut untuk melihat.
Menelan ludah, ia membbuka matanya, menatap refleksi tipis di kaca tua itu. Beberapa saat, dunia disekitarnya seperti menghilang. Dia berdiri sendirian di dalam cermin, Lily mengenakan sweater abu-abu laut yangnyaman. Rambutnya yang merah gelap tergerai di samping wajahnya dan menetes seperti hujan yang menetes di bahunya. Saat severus terus menatapnya, senyum seterang supernova terulas di wajahnya. Ia mengangkat tangannya pada Lily.
Gerakan itu seperti tenggelam dalam air hangat. Jiwanya telah lelah merasa seperti menerima kedamaian dari kematian yang mudah. Pada saat yang sama, ia merasakan rasa yang luar biasa tenang. Snape telah datang terlau sering. Setiap kali sama. Lily akan muncul dan berdiri tak bergerak di hadapannya seperti foto. Tapi sekarang ada sesuatu yang berbeda, seakan cermin itu mengetahui presentasi keinginan hatinya, sesuatu yang tidak ia tahu. Wajahnya seperti suar ketenangan untuk membawanya ke pengunduran diri akhir.
Dia tahu Lily hanya fatamorgana, ia berjalan lebuh dekat, namun sama saja. Mengangkat tangannya, Snape meletakkan telapak tangannya pada cermin dingin. Lily mengikuti. Sebuah simpul menyendat di tenggorokan. Setelah bertahun-tahun  berpikir ‘bagaimana jika’ dan menebak-nebak, ia menyadari apa yang hatinya telah berusaha untuk menceritakan. Bahwa keputusan yang telah mereka buat berdua dalam satu atau cara lain, telah mengutuk mereka. Entah bagaimana severus menyesal, seakan lily telah mengulurkan tangan dari luar untuk berbicara dengannya.
Dia mencintainya melebihi cinta James Potter dari hidup itu sendiri, tapi cinta severus tak seperti hal lain. Perkembangan rencana hidup telah cocok untuk menarik mereka berpisah. Tapi ia seperti Lily, tak pernah melupakan ikatan khusus mereka. Persahabatan dan cinta terindah di hidupnya.
Tersedak dan kembali terisak, severu kembali ke refleksi. Dengan mataa terpejam, ia bersandar disana menghadap cermin, air mata bergulir di kulit gadingnya. Dia merasa sentuhan tangan lily dari dunia lain di wajahnya, berjuang sia-sia menghapus air matanya. Sisi lain lily beristirahat di hatinya, mengobati terbakar rasa sakit. “lily. Aku menyesal” desahnya, memori memberi kekuatan, “lily, maafkan aku”
Ia sadar, tugas terakhirnya sedang menunggu, melindungi Harry Potter dari Pangeran Kegelapan. Ia sudah tahu Harry anak yang special sejak awal, ia begitu mirip dengan lily, sifat dasarnya. Itulah sebabnya ia tak pernah bertahan menghadapi Harry, ia bisa melihat lily di matanya. Dan timbulkan penyesalan baru. “akan ku jaga dia untukmu. Aku janji.” Bisiknya lirih.

The End


By : mayla potter
Date : Oct, 22 2011


comment here. :)