Kamis, 07 Juni 2012

Lily dan matematika


Lily dan Matematika

Aku melangkah gontai di perjalanan pulang, pandanganku menerawang ke hal yang jauh, masa depanku. Impianku selama bertahun-tahun untuk bersekolah di Universitas Harvard dipertaruhkan, hanya karena satu masalah kecil baiklah, aku mengaku itu masalah besar— nilai matematikaku. Harvard tidak mau menerima nilai kurang dari 8,00 untuk setiap mata pelajaran, lalu masih ada berbagai macam tes untuk menjamin bahwa mereka menerima murid yang tepat. Tidak mengherankan, itulah alasan mengapa Harvard menjadi universitas terbaik tertua yang masih bertahan di negara kompetitif ini, United State of America. Dan semua harapanku untuk bersekolah disana sedang digantung sekarang, menunggu saat yang tepat bagi harapan itu jatuh menghantam Bumi.
Aku tidak benar-benar bodoh, menurutku. Hampir semua mata pelajaranku mendapat nilai diatas 8,00 bahkan beberapa nilaiku lebih dari 9,00 tapi seperti yang kubilang, itu masih hampir. Setelah kuhitung ulang, aku sadar kalau nilaiku matematika hanya mendapat 78 dan itu berarti aku tidak akan bisa ikut tes untuk mendaftar di Harvard. Lebih buruk lagi, aku sekarang masuk daftar murid terancam tidak lulus semester, sekolah menetapkan nilai minimal 79 untuk lulus semester, dan nilaiku hanya 78!
“Kau tetap bisa memperbaiki nilaimu, itu pasti miss Evans” kata Mrs. Elizabeth siang itu di kantornya, ia berkata dengan hati-hati, “But i’m not sure you can increase your final score more than 1 point, you have no remidial test to do.” lanjutnya.
Please Ma’am. Anda bisa memberi saya tugas atau semacamnya, saya hanya butuh 2 point lagi” kataku muram. 2 point untuk test di Harvard.
Mrs. Elizabeth merapikan letak kacamatanya, menatapku tajam, lalu membuka beberapa folder di laptopnya, aku terus mengamatinya sampai ia berhenti pada file berjudul Lily Evans dan membukanya, “Okay, i’ll give you a chance. Kau tentu bisa membuat sebuah esai, miss Evans. Kau pilih temanya dan aku ingin esai itu ada di mejaku hari Rabu. Dan mohon diingat, jika aku menambah 1 point di nilaimu, itu berarti aku harus melakukan hal yang sama pada teman-temanmu.”
Sesaat aku membayangkan temanku mendapat angka 102 di raportnya, dan heran aku masih bisa melucu disaat seperti ini. “Of cource Mrs. Elizabeth, thank you.” kataku dan buru-buru pergi.
 Tapi itu tadi, tetap saja sekarang aku berjalan gontai kerumah.
 “Kau sudah pulang, Lily. Aku baru berpikir akan menjemputmu.”
Aku mendongak, dan melihat mata hijau zaitun Carlisle menatapku. Ia sedang duduk di taman rumah kami. Hebat, aku berjalan tanpa sadar ke rumah dan aku selamat!, kataku dalam hati. Sekilas aku melirik jam tangan dan tahu ini sudah pukul 8 tepat, aku mendesah keras dan duduk di samping Carlisle.
“Kau tak pernah pulang selarut ini, ada masalah disekolah?” kata carlisle tenang. benar-benar tipe kakak laki-laki yang bagus untukku, “Aku tidak memaksamu untuk cerita, itu hakmu” lanjutnya.
Aku menatap carlisle lagi, lalu berkata, “Bukan masalah, bencana lebih tepatnya.” Carlisle masih menatapku dengan tenang jadi aku memutuskan untuk melanjutkan, suaraku lebih lirih sekarang, “it’s about mathematics. Nilaiku tak cukup untuk lulus semester ini.” aku berhenti dan menatap Carlisle tak percaya, “Kau tak mengerti, ya?!” nada suaraku meninggi, “Nilai matematikaku tak cukup untuk lulus di semester ini, dan itu berarti aku masuk dalam daftar siswa terancam tak lulus semester, dan itu artinya aku tak punya kesempatan untuk kuliah di Harvard. Bagaimana mungkin ini terjadi!, aku sudah belajar keras untuk matematika, susah makan susah tidur hanya karena matematika, dan yang kudapat hanya nilai 78!! How poor i am.” Kataku marah-marah.
Carlisle masih menatapku untuk beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Ini bukan hanya masalah seberapa keras usahamu untuk matematika, tapi juga seberapa besar minatmu pada matematika, Lily. Hanya mengingatkan, kau selalu berkata matematika adalah pelajaran paling susah dan paling membosankan yang pernah kau pelajari dan kau terpaksa belajar metematika hanya karena menurut orang lain matematika itu penting, Kurasa itu adalah alasan tepat mengapa selama ini kau tak pernah mendapat nilai 8,00 di bidang matematika!” Carlisle berhenti untuk melihat reaksiku, lalu melanjutkan lagi “Lily, yang harus kau lakukan adalah mengubah perspektifmu pada matematika! Matematika itu indah, seperti seni.”
Indah seperti seni, aku mendengus mendengar itu. “Apa hubungannya cara pandang terhadap nilai matematikaku, Carlisle?”
“Tentu ada, Lils. Cara pandangmu terhadap matematika akan mempengaruhi minatmu pada matematika, dan minatmu pada matematika akan mempengaruhi seberapa besar keinginanmu untuk belajar matematika dan itu tentu saja akan mempengaruhi nilai matematikamu.” Jawabnya tenang. Kadang aku berpikir ia lebih cocok jadi seorang ayah daripada kakak, tapi kata-katanya benar.
“Perhatikan dunia di sekelilingmu, Lily! Semua adalah matematika.” Lanjut carlisle, sekarang mata zaitunnya menerawang jauh ke langit, ke bintang-bintang diatas kami. “Letak bintang, perputaran planet, suhu di bumi—“
“Tunggu dulu, kupikir itu fisika” kataku memotong ucapannya,
Carlisle masih tersenyum tenang, lalu melanjutkan lagi, “Tentu itu fisika. Tapi kau harus tahu Lily, matematika adalah dasar dari segala dasar. Menurutmu dari mana Newton tahu kalau +  =   kalu bukan dari matematika? Itu pecahan! Lalu dari mana Ibnu Sinan tahu ukuran yang tepat untuk membedah perut orang lain? Atau darimana Fir’aun membangun piramida dengan begitu hebatnya ? Semua dari matematika. Kalau mereka tak tahu 1 + 1 = 2, mereka tak akan menemukan rahasia alam semesta!”
                Carlisle berhenti, dan aku menunggu, “Einstein dan Edison mengerti apa gunanya matematika dan mereka mengembangkan ilmu itu jadi ilmu lain, itu sebabnya mereka dijuluki Orang-orang cerdas. Sungguh bagus seorang ilmuan bernama Phytagoras menemukan bahwa c2 = a2 + b2, jadi kita tak perlu repot memanjat untuk mengukur tinggi gunung. Rumus trigonometri membuat kita tak perlu melompat ke ujung ruangan untuk mengukur jarak antara titik ke bidang atau mengukur tinggi Eifell, bahkan mengukur pun sudah termasuk matematika, tanpa rumus trigonometri juga kita tak akan menemukan besar gaya vektor, tanpa matematika kita tak akan bisa menentukan kecepatan yang tepat agar dua buah foton tak bertabrakan dan meledak! Semua adalah ilmu hitung, matematika.”
                “Hitler menggunakan fungsi kuadrat untuk menghancurkan Amerika” kata Carlisle, dan aku menatapnya tak percaya, sebuah fungsi kuadrat untuk berperang? That’s impossible!. Carlisle terkekeh sekarang, “Lily, bom meriam menggunakan fungsi kuadrat untuk menciptakan lintasan parabola, jadi mereka tak perlu menghancurkan musuh dari dekat. Sampai sekarang semua tank militer menggunakan prinsip fungsi kuadrat untuk menghancurkan musuh dari jarak jauh, tak peduli berapa mil jaraknya!, jika kau pergi ke bioskop kau akan perhatikan bahwa susunan kursi disana menggunakan deret matematika. Erathothenes pertama kali mengukur bola bumi dengan menghitung selisih sudut matahari di Alexandria  dan jarak dari Syene ke Alexandria, ia menggunakan rumus sinus, sadarkah kau kalau itu matematika?
“Sejak zaman purba pun manusia telah menggunakan matematika walau dalam taraf yang sederhana, mereka menghitung peluang saat berburu dalam kelompok, menghitung berapa lama daging buruan mereka habis jika diambil 5 potong setiap hari, atau bahkan menghitung ramuan yang tepat untuk mengawetkan makanan. Di ekonomi modern, semua tentang matematika, pecahan untuk menghitung diskon, inflasi, dan pendapatan negara. Pertidaksamaan untuk menghitung harga barang, itu semua matematika!. Atau di dunia seni, para arsitek menghitung kekuatan pondasi yang dibutuhkan untuk menahan beban bangunan, menghitung ukuran bangunan. DesainTuhan pun menggunakan matematika! Angka PHI, 1.618”
“Apa hubungannya angka PHI dengan desain Tuhan?” kataku mencela.
Carlisle tersenyum,“Kau tentu tahu kalau jumlah lebah betina selalu lebih besar dari jumlah lebah jantan, jika kau membagi jumlah lebah betina dengan lebah jantan di setiap sarang di dunia ini maka kau akan mendapat angka yang sama. 1,618; PHI! Lalu jika kau menghitung rasio setiap diameter pada Nautilus kau akan mendapat nilai PHI; 1,618!”
Aku ternganga, menyadari kebenaran, “Impossible” gumamku.
It’s possible. Leonardo da Vinci sudah membuktikannya, coba kau hitung jarak antara puncak kepalamu ke lantai lalu bagi dengan jarak dari pusar ke lantai, kau akan mendapat anga PHI lagi! Jarak antara bahumu ke ujung jari bagi dengan jarak dari sikut ke ujung jarimu. PHI lagi. Yang lain? Paha ke lantai dibagi dengan lutut ke lantai. PHI lagi. Ruas jari, jemari kaki, divisi tulang belakang. PHI lagi. Semua tubuhmu adalah PHI, 1,618. Jika kau tak percaya kau bisa cari di wikipedia atau google, terserah. Matematika dalam desain Tuhan.
Fisika dan Kimia, Kecepatan dan zat-zat kimia yang dicampur, itu semua tak lebih dari hitung-hitungan rumus yang dikembangkan dari matematika. Bahkan menghitung peluang dan logika yang dihasilkan pun merupakan matematika. Matematika adalah ilmu hitung, Lily. Dasar dari segala ilmu!” kata Carlisle bangga.
Aku menatapnya tak percaya, baru tersadar. Carlisle benar, matematika adalah ilmu hitung! Dasar dari segala ilmu. PHI, lalu peluang, deret angka, persentase, interval, pecahan, logika, phytagoras, aljabar, persamaan dan pertidaksamaan, dimensi tiga, trigonometri, dan banyak lagi yang lain berkembang menjadi ilmu-ilmu lain yang mengupas rahasia alam semesta. Mengapa aku tak menyadari itu sebelumnya. Carlisle benar, tidak baik mempelajari matematika dengan terpaksa, sedikit perubahan perspektif dapat memberi dampak yang besar. Tiba-tiba akku berpikir, apa yang akan terjadi jika umat manusia tak belajar berhitung? Apakah semaju sekarang?.
Carlisle tersenyum lembut, “Adikku, kurasa kau sudah punya pandangan lain terhadap matematika. Jangan membenci matematika, kau hanya tak mengenalnya. Dan aku yakin, setelah kau mengenalnya sekarang, kau akan jatuh cinta pada matematika” ia berkata puas, tiba-tiba ia melanjutkan, “Kau tau, bahkan warna mata kita—“
“Aku tahu Carlisle, genetika juga cabang dari matematika, menghitung peluang dan semacamnya. Tapi sepertinya peluang ibu lebih banyak di aku, kau lihat mata kita sama hijau tapi rambutmu pirang seperti ibu dan aku merah seperti ayah. Kau benar-benar kakak yang baik Carlisle. Ayo kita masuk, sebelum Mom bisa memarahiku.” Aku segera bangkit berdiri, benar-benar lega bisa bercerita pada Carlisle tentang matematika, jadi itukah rahasianya mengapa ia selalu mendapat nilai bagus di matematika? aku berani bertaruh pasti kunci lokernya deret fibbonacci. Carlisle, Dia hebat.
Carlisle tertawa lebar, puas akhirnya bisa mengubah perspektifku tentang matematika. Aku melirik jam tangan lagi, jam 9, bukankah waktu dan garis lintang juga hasil dari penghitungan matematika? Oh, aku baru menyadarinya sekarang. Kurasa aku harus berterimakasih lagi pada Mrs. Elizabeth, dia sudah sangat baik memberiku kesempatan. Setidaknya karena nilaiku kurang, aku bisa lebih semangat untuk mengambil kelas matematika di Harvard. Itu pun kalau aku lulus semester ini, pikirku sedih. Lalu tiba-tiba teringat tentang esai yang diminta Mrs. Elizabeth, aku tersenyum puas, tahu judul apa yang akan kuberi pada esaiku nanti, “Matematika sebagai ilmu dasar”, aku tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar